Posted in Movie

Perjalanan Spiritual dan Teologi Dalam “Are You There God? It’s Me, Margaret.”

Sulit untuk tidak jatuh cinta pada “Are You There God? It’s Me, Margaret.” setelah beres ditonton. Sekilas, drama komedi ini mengangkat tema coming of age dari sudut pandang Margaret, seorang anak perempuan kelas 6 SD, yang mempertanyakan banyak hal dan bereksplorasi seiring dirinya tumbuh.

Rasa penasaran anak seusianya tentang perubahan fisiologi, ketertarikan pada lawan jenis, hubungan dengan teman dan keluarga, serta hal lainnya termasuk pertanyaannya tentang konsep ketuhanan. Poin terakhir mungkin akhirnya menjadikan film ini agak sensitif jika tidak ditonton dengan pikiran terbuka. Lebih lanjut, film yang diadaptasi dari novel ini justru malah ingin mengangkat isu Teologi sebagai bahasan utamanya.

Margaret dikisahkan lahir dari orangtua yang memiliki keyakinan berbeda. Ayahnya Yahudi, sedangkan ibunya Nasrani. Ayah dan ibunya pun sepakat untuk membiarkan Margaret memilih agama mana yang akan dipeluknya nanti saat dewasa. I might agree to the concept, but unfortunately, Margaret’s parents didn’t introduce their religion in order to make her learn or even slightly know. Yes, Margaret has no clue what Jewish nor Christian is.

Secara kebetulan, Margaret mendapat tugas dari gurunya untuk menulis esai sebagai projek akhir tahun, dan disarankan untuk mengangkat topik perjalanan spiritual Margaret dalam mendalami agama. Margaret akhirnya pelan-pelan mencoba mempelajari kedua agama yang dianut kedua orangtuanya tersebut. Ia sempat pergi ke Sinagoge bersama neneknya. Di lain kesempatan, ia juga pergi ke gereja bersama teman-temannya. Margaret bahkan tidak sengaja pergi ke gereja Katolik dan masuk bilik pengakuan dosa saat berusaha membuntuti salah satu temannya.

Isu yang sudah sensitif ini makin terasa sensitif saat Margaret digambarkan kurang merasa sreg dengan salah satu agama yang sempat dicobanya. Pun demikian, Margaret tetap teguh pada pendiriannya dengan tidak condong pada agama tertentu. Keyakinannya malah kian goyah.

“If only you could give me a hint, God. I’m more confused than ever. Which religion should I be? Sometimes I just wish I’d be born one way or the other.” Ucap Margaret lirih di satu kesempatan.

Margaret mulai mengalami pergolakan dan merasa tidak nyaman pada semua agama yang telah dicobanya. Baginya, agama hanyalah sebuah konsep yang mengkotakkan manusia dan menganggap pilihan mereka paling benar; tidak adanya toleransi. Momen ini pecah ketika Margaret berada di antara debat panas kedua kakek neneknya tentang pilihan agama yang harus dianutnya. I can tell that this was one of the greatest moments within anyway. 

On top of it, ada hal menarik yang cukup menggelitik terkait proses Margaret dalam pendalaman agama. Margaret digambarkan tidak percaya agama, namun, di sepanjang durasi diperlihatkan jika dirinya berulang kali melakukan dialog dengan Tuhan. “Dear, God. It’s me, Margaret.” ucapnya di setiap awal komunikasi. Yap, sosok Margaret secara tidak langsung sudah menjadi salah satu representasi karakter agnostik di perfilman. You can call me much, but for me, this is as important as other filmmakers putting any LGBTQ+ characters as representative in movies.

“I’ve been looking for you, God. I looked for you in Temple, I looked for you in Church. I didn’t feel you at all. Why? Why, God? Why do I only feel you when I’m alone?”

Ada makna ganda tersirat saat Margaret melontarkan dialog di atas. Pertama, Margaret sadar bahwa pendalamannya tentang agama, juga pencariannya pada Tuhan, tidak menemukan titik terang. Tapi, Margaret yakin jika sosok Tuhan sudah bisa dirasakan sendiri pada manusia saat mereka sendiri. Sendiri di sini maksudnya berdoa. Toh, layaknya Margaret, setiap manusia yang berdoa (dan juga meminta), akan duduk sendiri untuk berdialog langsung kepada Tuhannya, kan? Lebih dalam, Tuhan akan selalu ada bagi umat-Nya di mana pun selama mereka percaya pada Tuhan.

Sementara yang kedua, hal dialog di atas dapat dianalogikan sebagai sindiran (juga tamparan) pada penonton terkait realita yang ada. Manusia sering melupakan Tuhan saat mereka sedang bahagia, namun, mendadak dekat dengan Tuhan saat mereka merasa dunianya sedang jatuh. Well, aren’t we all?

Dengan mengenyampingkan konsep agnostik, “Are You There God? It’s Me, Margaret.” akhirnya dapat juga menjadi bahan retrospektif tersendiri bagi penonton. Film ini coba mengingatkan kita untuk kembali menebalkan iman pada keyakinan yang dianut, apa pun pilihannya.

So, have you found your God?

Posted in Movie

my favorite movies of 2022

Hmm, tahun ini sebenarnya sedikit heran dengan diri sendiri, sih. Jadi, entah kenapa gue lebih banyak mantengin nonton series ketimbang film. Padahal, di tahun 2021, film yang gue tonton tembus di angka 400 lebih. Gue aja kaget pas buka email dari Letterboxd tentang rekap tersebut.

Sebenarnya, masih ngerasa punya hutang dengan beberapa film yang dirilis tahun ini. Ada beberapa judul yang belum sempat ditonton sampai saat tulisan ini dibuat. Misalnya “RRR”, “Fire of Love”, “TÁR”, dan “Babylon”. Tapi, yaudahlahya ~

Nah, entah kenapa lagi, daftar favorit untuk tahun ini dibagi ke dalam tiga kategori. Kategori tersebut adalah Film Indonesia, Film Hollywood, dan Film Non-Hollywood. Sedikit berterima kasih karena gue tahun ini berkesempatan mampir ke beberapa festival film yang diselenggarakan. Ada Jakarta Film Week, Jakarta World Cinema Week, Japanese Film Festival, Madani Film Festival, serta 100% Manusia Film Festival.

Yaudah, deh, yuk, langsung aja disimak pilihan film favorit Tio di tahun 2022 ini.

Film Indonesia

  • Before, Now & Then (Nana)

Kamila Andini kembali hadir dengan karyanya yang penuh simbol serta tafsir. Sekali lagi tentang women empowerment, adat, sistem, dan patriarki. Diperkaya dengan aspek teknis mumpuni, mulai dari sinematografi, desain produksi, wardrobe, sampai scoring.

  • Gara-Gara Warisan

Di luar beberapa hal yang bisa ditingkatkan, “Gara-Gara Warisan” hadir sebagai dramedy dengan muatan yang cukup kaya. Mulai dari drama dan komedinya sebagai sajian utama, sentilan kritik sosial, serta keluarga sebagai tema yang ingin disampaikan. Sayangnya, beberapa lelucon berakhir garing. Gue bahkan mencelos dengan masih adanya jokes berunsur seksis. Agak dragging di paruh akhir, tapi, secara keseluruhan, gue menikmati film ini karena bisa bikin senyum, terdiam, tertawa, serta menangis secara bergantian.

  • Mencuri Raden Saleh

Fairly speaking, masih banyak hal menggantung saat film berakhir. Padahal durasi film sudah membengkak hingga 154 menit. Aspek teknis patut diacungi jempol: sinematografi, editing, dan terutama scoring. Tidak berlebihan juga untuk mengamini jika “Mencuri Raden Saleh” adalah karya terbaik Angga Dwi Sasongko sejauh ini. Kalau ngerasa ada taste Hollywood, toh, terang-terangan dikasih tahu lewat dua dialog yang terlontar di dalam film.

  • Ngeri-Ngeri Sedap

“Aku belajar mendengar, belajar hidup, ya, dari dia. Harusnya ku dapat itu dari bapak, bukan orang lain.” – Sahat.

Adat. Patriarki. Feminisme. Pluralisme. Keluarga. Membawa budaya Batak, rasanya tidak berlebihan jika menjadikan “Ngeri-Ngeri Sedap” sebagai salah satu film keluarga terbaik Indonesia. Dramanya hangat dan mengharu biru. Komedinya pas pada koridornya tanpa berusaha dipaksakan lucu. Momen terbaik tentunya pada monolog panjang Ghita Bhebhita sebagai Sarma. Dramedy dengan sentuhan satir yang cukup menampar meski tidak begitu dark atau terkesan menggurui.

  • Noktah Merah Perkawinan

Cuma mau bilang kalau film ini nyaris tanpa cela. Jangankan aspek teknis. Akting dan chemistry semua pemainnya aja juara. Dibikin greget, kesel, campur aduk. Reka adegan tampar bisa dibilang jadi gong terbaik yang langsung bikin maknyes. Rasanya pengen langsung sungkem ke Marsha Timothy dan Oka Antara. Setuju juga, kalau ini jadi salah satu film terbaik Indonesia di tahun 2022. Btwthumbs up untuk Jaden Ocean yang sukses mencuri perhatian sebagai Bagas.

  • Perjalanan Pertama

“Perjalanan Pertama” secara mengejutkan membawa perasaan campur aduk setelah ditonton. Dengan latar Minang, film ini benar-benar kaya dari segala aspek. Ada beberapa hal minor yang bisa ditingkatkan tapi rasanya cukup bisa dimaafkan secara keseluruhan. Dramedy dengan satir dan kritik sosial yang dipadu banyak simbolisme bertebaran. Dibalut tema coming-of-age yang rumit untuk diurai dan dimengerti dari sudut pandang seorang anak-anak. Dibawakan dengan gaya road trip. Dua karakter utamanya yang terpaut umur sangat jauh mampu memberikan emosi yang hangat dan intim.

  • Pesantren

Potret singkat sebuah pesantren di daerah Cirebon. Dengan pendekatan dokumenter, film ini justru hadir dengan sangat kuat sekaligus emosional lewat dialog serta kegiatan raw di sepanjang durasi. Tanpa perlu menyertakan potongan wawancara seperti dokumenter kebanyakan, “Pesantren” sudah bisa berbicara sendiri dan mengalir apa adanya tanpa terasa kolot, kaku, apalagi menggurui. Potongan ceramahnya juga menyejukkan hati sekali.

Film Non-Hollywood

  • Broker (Beurokeo) – Korea

From the same director, Kore-Eda, “Broker” may look like “Shoplifters” at glance. “Broker” has sympathetic characters within its background and development story. The actors also managed to carry out their roles beautifully, combining with good chemistry. It gives me mixed feelings regarding the solution and the fate of all the characters at the end. Heart-wrenching as well as emotional.

  • De Uskyldige (The Innocents) – Norwegia

Freakin’ horror from Norway. Gave me multiple orgasms, figuratively, towards its shocking twist. Repeatedly wowed, giggled and cursed (in a good way) throughout the runtime. There are some things that could be improved but forgivable still for ‘this’ already. “De uskyldige” succeedingly became my current favorite modern horror, replacing “The Babadook” which both have multiple interpretations of analogy.

  • Decision to Leave – Korea

The type of film that cannot be watched casually; have to focus. Entertained by the cinematography and neat editing to follow the investigations, even from the beginning. A complicated snowball conflict that simply give you headache by the ending.

  • Gæsterne (Speak No Evil) – Denmark

Randomly watched this during Jakarta Film Week. F**K! Did not prepare for its unsettling and bone chilling sensation. One of my favorite thriller films of 2022.

  • Eismayer – Austria

Gay themed. Based on a true story. A happy ending. That’s it, that’s the review!

  • Love Destiny: The Movie – Thailand

Wrapped in fantasy, “Love Destiny” seems to invite the audience to explore ideas/theories/meanings about love, especially mate. Well, without having to think critically, just watch the film that comes lightly. A legit romance-comedy-drama. Not to mention its beautiful production design! Don’t bother its long runtime. The narrative were smooth and tight somehow.

  • Maya Nilo (Laura) – Swedia

Surprisingly good! Unintentionally watched this on Jakarta World Cinema Week. Perfect dark comedy and unexaggerated drama in a road trip style.

  • Pink Moon – Belanda

Randomly booked this on Jakarta Film Week. Didn’t read the synopsis Nor watch the trailer. Well, I got sleepy at first because of its slow pace. Turns out, “Pink Moon” left me speechless by the ending. Love the one long take on the final scene.

  • Rebel – Belgia

Brutal. Pain. Rage. Trauma. Upright. Vicious. What a horrible terror of ISIS. Left me speechless and emotionally mixed. Screw ISIS.

  • Sans Filtre (Triangle of Sadness) – Prancis

My personal objection is the long runtime. Other than that, “ToS” is a wild journey indeed. Dark comedy and satire of class, money, and politics. Hilarious and entertainingly thoughtful.

  • Walad Min Al Janna (Boy From Heaven aka Cairo Conspiracy) – Turki

A captivating yet complex story. Not to mention its sensitive issue towards power, religion, and politics within an Islamic background.

  • Yue Lao (Till We Meet Again) – Taiwan

“Some things will never change, even after 10,000 years.”

What a bold and rich theme. Of all the minor flaws within, this hybrid movie is still acceptable for me. I just don’t think the secondary story is necessary but it helps to connect the plot somehow. Good tearjerker to revisit life, death, and… love as well.

Film Hollywood

  • Aftersun

Time flies, memories stay. “Aftersun” is a slow paced drama on a father-daughter relationship. Revisiting the idea of the old perspective in the current situation in order to understand things (or the past) eventually. Achingly beautiful. Well, it is nice indeed to think that we share the same sky.

  • Avatar: The Way of Water

Honestly, the story isn’t that special. Feels like repeating the formula from the first one. Not to mention its cliffhanger (or anticlimactic) ending, as well as some questionable stuff. However, I can tell that the main selling point of this franchise is its visual perspective and cinematic experience on the big screen. Yes, it was breathtaking!

  • The Bad Guys

Constant fun from the beginning. Light and super hilarious. Pure entertainment for family movie night. Totally praising the voice acting of each actor as well.

  • The Batman

A poetic Batman version in neo-noir style. Love the directing, cinematography, scoring, including choice of tone color. I even got no complaints by the runtime since things were smoothly delivered.

  • Bros

What a light gay rom-com! I laughed a lot throughout the entire film for its smart jokes and witty lines. The story may look too good to be true, but the film could work on movie date night, I guess.

  • Bullet Train

Some flaws and minor aspects still. Mostly for its wasted potential talent. Yet it can’t stop the fun and joy within. A blood-spatterred action in vibrant color as well as bold cinematography.

  • Cha Cha Real Smooth

“Giving your heart to somebody is the scariest, most dangerous, most perplexing thing.” – Domino.

  • Glass Onion: A Knives Out Mystery

Wildly entertaining whodunnit theme on rich people’s problems, once again.

  • Guillermo del Toro’s Pinocchio

Recent classic adaptation with stunning visuals. del Toro successfully crafted a darker and mature materials in an amazing stop-motion.

  • Mrs. Harris Goes to Paris

Dreams and ambitions; two things that we need to pursue in life. Within its old-fashioned heartwarming story, it comes with beautiful production and costume design (obviously) in the setting of Paris.

  • On the Count of Three

Trigger warning for depression and suicidal content. A funny dramedy yet shocking and sad. Its mental health issue can be an awareness of peers towards the symptoms.

  • Puss in Boots: The Last Wish

Cuteness overload! A fun and entertaining adventure with a simple plot yet meaningful. DreamWorks succeeded in concocting classic fairy tales into a slick modern story, once again. Not to mention nostalgic moments on multiple easter eggs and cameos.

  • Raymond & Ray

traumas. Resentments. Secrets. Memories. All flood in when two brothers reunite for their father’s last wishes to dig his grave. Despite the mixed reviews, I found this heart wrenching enough to follow. On how to let go of the past and dealing with a parent we barely knew.

  • Scream

What a terrific requel. Love the screenplay for the story, twist, and everything in between. There’s slightly off on a thing or two but overall, I’m OKAY WITH IT! I can tell the roasting is both smart and hilarious as well.

  • X

A divine slasher in classic homage. Plenty of fun with bloody grotesque here and there, along with lots of jaw dropping scenes.

What’s your favorite?

Posted in Movie

Memaknai Berkat Hidup Lewat Nine Days


Sebelum terlahir ke dunia, katanya, manusia bertemu dengan Tuhan terlebih dahulu. Manusia akan ditunjukkan perjalanan hidupnya di dunia nanti dengan lengkap sejak lahir sampai wafat. Jika merasa sanggup, manusia akan setuju untuk memilih terlahir di dunia. Sebaliknya, manusia bisa memilih untuk tidak dilahirkan sama sekali jika merasa tidak sanggup.

Pernah mendengar cerita seperti itu dan tertarik untuk menguliknya lebih dalam? Mungkin kamu perlu mencoba menonton film berjudul Nine Days.

Sekilas, Nine Days mencoba mengangkat premis tersebut dengan beberapa perubahan yang diangkat dalam cerita. Anyway, sebelum lanjut membaca, gue ingin menekankan jika ulasan ini berdasarkan analisa dan interpretasi pribadi. Jika ada beberapa hal yang mungkin dirasa berbeda kalau kalian menonton filmnya, feel free to correct me if I’m wrong.

Oke. Lanjut.

Nine Days berkisah tentang Will (Winston Duke), yang bertugas melakukan wawancara kepada calon manusia sebelum dilahirkan ke dunia. Will ditemani oleh Kyo (Benedict Wong), calon manusia yang tidak lahir ke dunia namun mendapat kesempatan untuk tetap ‘hidup’ membantu Will.

Will memiliki tugas lain yakni memerhatikan kehidupan manusia yang ada dunia dari layar televisi. Ia akan mencatat seluruh kegiatan mereka setiap harinya dalam buku dan menyimpannya sebagai arsip. Dari beberapa manusia, Amanda (Lisa Starett) menjadi favoritnya. Amanda adalah seorang pemain biola berbakat yang hidupnya berakhir tragis karena harus wafat di usia muda. Kematian Amanda akhirnya membuat Will bertemu beberapa kandidat yang perlu lahir ke dunia sebagai pengganti.

Beberapa kandidat yang ditemui Will antara lain Emma (Zazie Beetz), Kane (Bill Skarsgrd), Alexander (Tony Hale), Anne (Perry Smith), Mike (David Rysdahl), dan Maria (Arianna Ortiz). Mereka diberi waktu selama sembilan hari untuk dilakukan observasi lewat sesi wawancara dan beberapa tes serta tugas yang diberikan. Udah macam proses melamar pekerjaan emang.

Uniknya, kandidat juga ikut diajak Will untuk melihat kehidupan para manusia yang ada di dunia. Will akan menanyakan tanggapan kandidat terkait kehidupan manusia yang mereka tonton, misalnya hal-hal yang mereka sukai dan tidak tentang kehidupan di dunia. Hal ini juga seolah menjadi kontradiksi dari narasi yang gue tulis di paragraf pertama. Dalam Nine Days, para calon manusia justru melihat kehidupan orang lain alih-alih melihat perjalan hidup pribadinya. Uniknya lagi, sekeras apapun keinginan kandidat untuk lahir ke dunia, pada akhirnya yang memutuskan mereka untuk bisa lolos adalah Will.

Gimana, sampai sini sudah pusing belum dengan gambaran film Nine Days? It’s okay if you feel so. Gue juga beberapa kali menekan tombol pause saat menonton demi bisa mencerna dan menyegarkan pikiran sesaat, berhubung tema dan interpretasi yang diangkat dalam filmnya lumayan bikin spaneng.

Oke. Yuk lanjut lagi.

Penggunaan nama Will sebagai karakter utama bisa dibilang cukup menarik. Jika diterjemahkan, will bisa diartikan sebagai kehendak atau keinginan. Hal ini berbanding lurus dengan Will yang bertugas memutuskan kandidat, apakah mereka bisa lahir ke dunia atau malah gagal. Hal ini juga sebenarnya menjadi ironis jika ditilik lebih dalam. Kenapa keinginan untuk hidup individu justru harus mendapat intervensi dan tidak ditentukan oleh dirinya sendiri? Atas dasar apa seseorang berhak mengatur hidup orang lain? Secara tidak langsung, hal ini sudah mematahkan paham free will dan free act, serta menekankan tentang keputusan mutlak yang dalam Islam disebut sebagai Qada.

Oh iya, I can tell kalau Nine Days ini secara keseluruhan lebih bersifat universal. Maksudnya, Nine Days tidak menggunakan atau menekankan agama tertentu. Sepanjang nonton lebih berasa macam disodorin filosofi untuk bahan pemikiran dan/atau merenung.

Belum lagi dengan hadirnya sosok Kyo sebagai pendamping Will. Kyo diceritakan sebagai calon manusia yang gagal mendapat kesempatan untuk lahir ke dunia. Gue sedikit bingung akan hal ini karena dalam cerita disebutkan jika kandidat yang gagal nantinya akan dihapus alias hilang. Lalu, mengapa Kyo bisa mendapat privilege untuk bertahan dan tetap ada?

For another record, awalnya gue sempat beranggapan jika Will ini adalah interpretasi dari sosok Tuhan. Namun, asumsi ini ternyata dipatahkan ketika Will bercerita jika ia justru pernah menjadi manusia sebelum ia memiliki tugas seperti sekarang. Jadi, apakah Will ini adalah semacam unsur reinkarnasi atau malah simbol dari sosok malaikat yang ditugasi oleh Tuhan? Tapi, kan, katanya malaikat itu makhluk yang sudah diciptakan khusus oleh Tuhan dan juga tidak punya emosi. Entahlah.

Tapi, Will memberikan treatment dengan baik pada kandidat. Setelah diputuskan gagal, kandidat akan diberi kenangan terakhir dengan menghadirkan simulasi untuk mereka rasakan pada hal yang mereka sukai dalam hidup. Ada yang memilih untuk bermain pasir di pantai, ada juga yang diajak bersepeda mengelilingi jalan lengkap dengan embusan angin dan bunga yang berguguran. This part quite hit me hard until I wept some tears.

Keunikan lain yang gue temui adalah fakta tentang Will yang ternyata memiliki emosi. Hal ini ditunjukkan lewat kesedihan Will saat mengetahui jika Amanda harus tewas. Emosi ini bahkan hadir lebih rumit ketika Kyo tiba-tiba menghadirkan tante dari Amanda (Cherie Julander) yang mengungkap jika Amanda meninggalkan secarik catatan bunuh diri sebelum kematiannya. Will berusaha menyangkal fakta tersebut karena berdasarkan arsip yang ditulis, ia tidak pernah melihat Amanda menulis surat tersebut. Apakah ini semacam paradoks jika ‘malaikat’ bisa juga lalai dalam memerhatikan manusia? Apa mungkin kita ini menjadi salah satu manusia yang menjadi favorit dari malaikat? Apa malaikat bisa kecewa jika kita memutuskan untuk mengakhiri hidup sendiri? Bagaimana jika justru bunuh diri merupakan garis yang sudah ditetapkan dan harus terjadi demikian?

Pusing lagi, gak? Sama.

Nine Days bisa dibilang bertutur dengan santai meski membawa tema yang cukup dalam dan berat. Bisa dibilang juga jika Nine Days adalah tipe film yang tidak mudah diterima dan dipahami para penontonnya. Tapi, buat gue pribadi, menonton Nine Days ibarat menyelami perjalanan spiritual, lengkap dengan amunisi-amunisi yang bisa dipakai untuk memaknai ulang berkat hidup yang telah diberikan pada kita.

Mungkinkah kita punya kehidupan berbeda sebelum terlahir seperti sekarang? Apakah reinkarnasi ada? Adakah kehidupan lain setelah kita wafat? Apakah jalan hidup sudah benar digariskan atau bisa diubah dan menciptakan jalan yang berbeda? Simpan semua pertanyaanmu.

Hidup memang merupakan sebuah misteri. Banyak pertanyaan yang sulit dijelaskan atau malah tidak akan pernah terjawab sama sekali. Perjalanan dan pengalaman yang dirasakan setiap individunya pun berbeda. Mungkin itu yang membuat hidup menjadi unik sekaligus menantang, juga bermakna. We never know what the future will be, they said. Tapi, kadang kita bisa melihat kehidupan orang lain untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran jikalau kita sampai harus berada di posisi mereka.

Hidup memang tidak selamanya mudah, karena akan selalu ada pasang surutnya. Dengan diberi kepercayaan untuk hidup, baik itu diputuskan oleh orang lain ataupun diri kita sendiri, setidaknya ada satu persamaan diantara keduanya: kita beruntung untuk bisa merasakan setiap hal di dalamnya. Tapi, sekali lagi, bukankah kita lebih berhak untuk memutuskan setiap pilihan yang diambil dalam hidup kita sendiri?

Wish you all a good life no matter how hard you thought.

Posted in Movie

My kind of watching during social distancing… so far

Boom! Here we are facing the corona pandemic issues. Salah satu dampaknya, kantor gue pun memberlakukan WFH alias Work From Home. Agak sedikit merepotkan sih. But, well, let see some silver linings within. Di antaranya, gue jadi punya banyak waktu untuk menonton film di sela beresin kerjaan kantor. Hihihi…

Yah mau gimana juga sih dalam kondisi begini. Pergi pun udah gak bisa, apalagi mall dan bioskop juga ditutup untuk sementara sampai waktu yang belum jelas. Terakhir ke bioskop kemaren masih sempet kebagian nonton Bloodhshot anyway.

Jadi, sekarang mumpung lagi agak luang setelah kerjaan beres dan kepengen nulis, gue mau sharing beberapa film yang udah gue tonton sepanjang social distancing sampai dengan bulan Maret 2020. Okay, here I go

Contagion is relevant in 2020, and not just because of coronavirus ...

Contagion (2011). Gue baru nonton film ini berhubung jadi bahan perbincangan terkait pandemi corona. Emang agak ngeri-ngeri sedap sih sepanjang nonton karena mirip meski definisi virusnya agak berbeda. Film ini juga punya poin lebih karena dibintangi banyak nama besar mulai dari Gwyneth Paltrow, Matt Damon, Jude Law, Kate Winslet, bahkan idola gue si tante Marion Cotillard. Buat tontonan drama dengan bumbu thriller, apalagi mau ngerasain ‘sensasi’ kepanikan yang mirip dengan keadaan saat ini, bisa coba ditonton deh.

Big Time Adolescence (2019) - IMDbBig Time Adolescence (2019). Film ini sempet seliweran di timeline Twitter gue dan dipuji. Gue kaget sih emang pas nonton liat Pete Davidson bisa akting cukup serius mengingat doi udah lekat dengan imej komedi dalam Saturday Night Live. Ceritanya dan naskahnya oke. Tentang tumbuh kembang seorang remaja (dalam hal ini remaja pria) yang dapet tuntunan hidup justru dari orang lain. Orangtuanya lengkap tapi bisa dibilang semacam ‘gak ada’ dan malah akhirnya cuma bisa nyalahin. Padahal apa yang dilakukan si tokoh utama gak sepenuhnya salah, meski gak sepenuhnya benar juga. Salah satu tontonan yang cukup berbobot bagi para orangtua untuk bisa lebih memahami anak-anak, khususnya dalam menghadapi transisi di masa remaja.

Doctor Dolittle review: This film does very little- The New Indian ...Dolittle (2020)Not even close to oddly satisfying. Might be imaginative one for children that’ll be happy enough to see a group of a happy-go-lucky polar bear, a shy gorilla, a critical ostrich, including so called an empowering advisor macaw, and a duck who can’t distinguish forceps over leek. Together with a vet on a voyage for helping poisoned queen by assisting a dragon to fart first. There, I said it.

Review Film: Taylor Swift - Miss AmericanaMiss Americana (2020). This documentary is including never before seen personal archive of Tay Tay, her never ending feud on Kanye West, her political views, and her process on writing for the Lover album that’s wrapped to the marketing strategy of Only The Young’s single. A bridge to another new era of Tay? Anyway, gue bukan Swifties.

Honey Boy' Trailer: Shia LaBeouf's Deeply Personal Film Is A ...Honey Boy (2019)“Every single one of us got a grudge. Every single one of us got somebody that fucked us over. And I know you got one, and you got to lay the grudge down, or it’s gonna fuckin’ kill you.” Well, pain is something that formed us a person who we become today. It’s not about just forgive and forget. It’s about how we see things in both present and future towards the past. Entah deh ini sebenernya lebih ke arah memoar atau biopik. Shia LaBeouf nulis naskah film ini berdasarkan kisah hidupnya dan sang ayah. Shia bahkan bermain langsung dan memerankan sosok sang ayah. Bener-bener kebawa emosional sepanjang nonton karena emang kerasa banget sisi personal touch-nya.

Reframing the Two Love Stories in 'The Souvenir'The Souvenir (2019). Love is blind they say. Yet being manipulated and fooled around is not a love. Abusive isn’t always about physical nor verbally, but mentally included. Just leave your partner once they do so. Always keep in mind that no matter what, you are worthy enough. You have all rights to be happy without them. Again, love yourself first.

Spenser Confidential' Is Playful, Forgettable FunSpenser Confidential (2020).The irony is that this action comedy gives both less action and comedy. It’s entertaining still towards the lines tho. Yet it was all just about former cops in his Batman-Robin-Alfred team (this is on the lines too, anyway) going undercover for the sake of clearing somebody’s name. Bonus: it has Post Malone on his first movie debut. Kalau Winston Duke diganti Kevin Hart kayaknya bakal lebih komedi sih ini film jatuhnya.

Resensi Film LAST CHRISTMAS: Belajar Menghargai Hidup ...Last Christmas (2019). Gue udah baca spoilernya duluan sih jauh sebelum nonton jadi gak terlalu surprising sebenernya. But, well, George Michael’s songs and Henry Golding in British accent are my two kind of favorite things towards this romcom. Heartwarming enough in terms of magical of Christmas and love itself. Always look up then maybe you’ll find happiness upon the sky somehow.

Isabella Eklöf Shook Some Audiences with Her Film 'Holiday ...Holiday (2018). Umm, sorry but I just don’t get much about this one. Thought this is some kind of soft porn thriller yet the rape scene seems pointless and odd on many levels. Its thin story comes with slow burn pace that left me wondering why on earth I can spare my 80 mins on this Swedish movie. Gue tuh nonton ini berasa macam liat cabe-cabean bareng sugar daddy-nya yang akhirnya berada di waktu dan tempat yang salah.

Foam Party! | Strand ReleasingComo La Espuma (Foam Party!) [2017]. Dari judulnya emang menggoda. Apalagi ada beberapa adegan sensual di dalamnya. Tapi…… gue speechless sih dengan analogi yang coba disampaikan di dalamnya. I mean, this is so deep! I mean, well, who knows that life is a big boat orgy. We met strangers then messing around each other somehow. Some look for fun, some just trying to fit in the euphoria, while others might not have any idea why they’re there. Three or more is fun indeed yet it was all about the chemistry in the end. Open up, spread the legs, and let life fucks you eventually.

NIGHT SHIFT 2018 | Horror Amino

Nightshift (2018). Not even close to psychological thriller. Not even creepy nor frightening. Not much graphic images and tense sequences. Things just poor as hell.

Barrack dan Michelle Obama Produksi Film Pertama "American Factory ...

American Factory (2019). Two countries, two languages, two cultures, one Fuyao company. This Oscar winning documentary is recommended indeed to learn both some stuffs and issues for us workers.

A Beautiful Day in the Neighborhood (2019) - IMDbA Beautiful Day in the Neighborhood (2019). “Do you know what that means to forgive? It’s a decision we make to release a person from the feelings of anger we have at them.” This is so heartwarming. A great movie to watch about forgiveness. How to cope and deal on someone we love who gives us the hard times for years. Time heals they say. Thank you Mister Rogers! p.s.: gue mewek coy!

Big Screen Small Words: I Killed My Mother

J’ai tué ma mère (I Killed My Mother) [2009]. Impressive and emotional! Do you know that Xavier Dolan starred and directed this at the age of 19? Do you also know that he wrote the script when he was 16? Sepanjang nonton agak capek dan ikutan spaneng sih ngeliatin ibu dan anak marah-marah mulu.

Luce' Review: What to Expect When Adopting a Former Child Soldier ...Luce (2019). Holy moly! Luce gave me emotionally mixed towards the issues within. Great directing with terrific ensemble cast that put a solid chemistry on how a misunderstanding could lead into something more complex afterwards.

Review The Good Liar, Bukan Cerita Kakek-Nenek Jatuh Cinta Lagi ...The Good Liar (2019). So… is this some kind of revenge that plotting 60 years to execute?
Not that surprising in terms of the plot and storyline. Tapi emang performa aktor kawakan, in this case Helen Mirren and Ian McKellen, udah gak perlu diraguin lagi sih. Tjakep bener coy. Oh, and well, Russel Toyev in British accent is good, right? 

Ne Zha', Animasi Legenda Tiongkok yang Sangat MenawanNe Zha: Birth of the Demon Child (2019). “If you asked me whether a person can alter their fate? Well, I don’t really know. But hey, anything’s possible.” Have no idea that this is beyond. Predictable yet the story, screenplay, voice acting, visual, and its humor sense wrapped the mythology of Ne Zha entertainingly.

Ada yang belum kamu tonton? Atau gue yang terhitung telat karena baru nonton? Yaudah, yang penting sama-sama berdoa ya semoga wabah corona ini cepet selesai dan kita bisa kembali beraktivitas dengan normal lagi. Gue udah kangen sama bau studio bioskop, nih :’)

Posted in Movie

Akhir Kisah Cinta Si Doel (2020) – #TeamSarah atau #TeamJaenab ?

Ulasan gue singkat aja: akhirnya bisa tidur nyenyak dengan pilihan akhir Bang Doel setelah 27 tahun berlalu. Agak aneh juga ya ngikutin kisah cinta segitiga tiga orang yang seharusnya udah lagi anteng nungguin cucu lahiran (?)

Jadi siapa yang dipilih Bang Doel? No spoiler ah. Silahkan tonton sendiri aja.

Pengen nulis agak panjang sih terkait beberapa pertanyaan yang masih mengganjal. Misalnya…….

Seth Meyers Lol GIF by Late Night with Seth Meyers

Seth Meyers Lol GIF by Late Night with Seth Meyers

Seth Meyers Lol GIF by Late Night with Seth Meyers

Seth Meyers Lol GIF by Late Night with Seth Meyers

Seth Meyers Lol GIF by Late Night with Seth Meyers

  • Jadi apa sebenarnya alasan Sarah meninggalkan Doel dahulu?
  • Apakah hak asuh Dul dipegang oleh Sarah?
  • Apakah Dul balik ke Belanda dan tidak menetap di Jakarta?
  • Bagaimana akhir dari kisah cinta Mandra dan Munaroh?

Ada yang mau menambahkan?

 

 

 

 

 

Posted in Movie

Bad Boys for Life (2020) – well, this one’s odd

Is it weird if I confess that I haven’t seen the previous dwilogy of Bad Boys yet? There it is, I said it. Ya, memang nyatanya gue belum pernah menonton Bad Boys dan Bad Boys II. Tapi kayanya ini gak terlalu berpengaruh besar meski gue langsung menonton Bad Boys for Life mengingat inti ceritanya masih seputar duo polisi yang ingin pensiun tapi nyatanya terus bertahan dalam aksi melawan penjahat.

As long as the profit comes, the sequels are coming, right?

Pertimbangan lain gue menonton Bad Boys for Life (BBFL) adalah karena ulasan yang positif yang diterima, dibandingkan dengan dwilogi pendahulunya. Tapi mungkin kayanya pendapat kritikus agak sedikit berbeda dengan penilaian gue setelah menonton film ini.

Jadi gini. Oke sih di beberapa hal gue emang setuju dengan pendapat kritikus. BBFL tidak mutlak mengandalkan adegan kejar-kejaran semata. Tidak juga mengandalkan banyak adegan eksplosif nan masif khas Michael Bay (dwilogi sebelumnya digarap oleh Bay). Porsi drama justru juga ditekankan di sini. Mungkin sedikit meniru konsep franchise Fast Furious yang belakangan menggunakan formula tersebut. Kedua kombinasi drama dan aksi yang seimbang membuat BBFL akhirnya terasa cukup nyaman untuk disimak. Ditambah lagi dengan barisan soundtrack pendukung adegan latar yang terdengar khas.

Lalu apa masalahnya?

Oh iya, gue langsung tekankan dulu ya kalau ulasan ini selanjutnya akan mengandung spoiler.

spoilers GIF by University of California

Mike (Will Smith) dan Marcus (Martin Lawrence) diceritakan mencari dalang dari pelaku penembakan yang meresahkan kepolisian. Lewat penyelidikan, dalang dari semua kekacauan tersebut ternyata adalah Isabel (Kate del Castillo), sosok dukun wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengan Mike.

Dukun, guys. Gue ulangin ya: DUKUN!

Di awal film bahkan udah ditunjukin kalau dia kabur dari penjara karena campur tangan bantuan ilmu hitam. Lalu setelah berhasil kabur, Isabel menghubungi anaknya, Armando (Jacob Scipio) untuk membunuh beberapa orang terdekat Mike (termasuk Mike di penghujung daftar). Isabel beranggapan itu adalah cara terbaik untuk membuat Mike tersiksa melihat rekannya tewas satu persatu.

Nganu. Monmaap nih. Kan Isabel dukun ya. Kenapa gak langsung nyantet aja sih? Toh dia dukun voodoo yang kuat. Kenapa harus dengan pake cara tradisional dan capek-capek nyuruh anaknya dibanding bikin ritual untuk bikin Mike muntah beling misalnya?

Bikin gak relevan sama cerita karena ini film action? Ya terus kenapa harus pake karakter dukun, Bambang??!!

Things gone weirder ketika fakta kemudian mengarah jika Armando ternyata adalah anak dari Mike. Like…. Seriously?

awkward britney spears GIF

Ini gue lagi nonton Bad Boys for Life atau Gemini Man 2.0, sih?

Sepak terjang duet Mike dan Marcus juga jadi standar aja sih menurut gue. Umur emang gak bisa bohong kali, ya? Karena justru kelompok AMMO yang membantu penyelidikan dan beranggotakan Rita (Paola Núñez), Kelly (Vanessa Hudgens), Dorn (Alexander Ludwig) serta Rafe (Charles Melton) malah lebih mencuri perhatian dengan tingkah laku mereka.

Hasil gambar untuk bad boys for life AMMO
I don’t mind watching these AMMO guys spin-off.

 

Mungkin nanti sekuel selanjutnya bakal cross genre jadi action horror?

Posted in Movie

Abracadabra (2020) – magically magic

Dan film Indonesia pertama yang gue tonton di tahun 2020 ini adalah… Abracadabra. Gue udah menaruh minat tersendiri sama film ini dari awal. Liat aja trailernya yang pake tone warna ala-ala Wes Anderson. I thought this would be something.

Untuk jajaran pemain, Abracadabra juga terbilang bertabur banyak nama besar. Dimulai dari Reza Rahadian sebagai pemeran utama, didukung barisan pendukung seperti Butet Kertaradjasa, Dewi Irawan, Jajang C. Noer, Lukman Sardi, hingga Asmara Abigail. Nama-nama lain yang sudah dikenal luas seperti Imam Darto, Ence Bagus, Poppy Sovia, dan Landung Simatupang juga turut membintangi film arahan Faozan Rizal ini. Sounds legit, right?

Tapi…. Jujur deh kayanya otak gue gagal paham dengan maksud dan tujuan dari hadirnya film ini. Gue gak ngerti sama sekali ketika beres menonton Abracadabra.

Emang ceritanya tentang apa sih?

Lukman adalah seorang grandmaster yang sudah tidak lagi percaya pada keajaiban. Di pertunjukan sulap terakhirnya, ia berencana untuk gagal dan sekaligus pamitan ke teman-temannya kalau ia tidak akan lagi bermain sulap. Lukman mempersiapkan trik mudah dari kotak kayu milik ayahnya, ia akan memanggil seseorang dari penonton untuk masuk ke dalamnya, memakunya, ucapkan “Abracadabra!”, dan tentu saja orang tersebut masih ada di dalamnya. Tidak ada kejaiban. Tapi yang tidak dia ketahui adalah, bahwa kotak itu milik banyak penyihir besar di masa lalu, hingga akhirnya sampai ke ayah Lukman yang juga seorang grandmaster.Pertunjukan berlangsung, dan seorang anak laki-laki yang masuk ke kotak itu pun menghilang. Lukman tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Ia juga tidak tahu bagaimana cara mengembalikan anak itu.

Seorang Kepala Polisi yang sangat menginginkan kotak itu, berusaha mengejar Lukman dan menuduhnya dengan kasus penculikan anak. Kisah itu berubah menjadi permainan kucing dan tikus antara Lukman dan Kepala Polisi mantan pesulap yang ingin menangkap Lukman dan memiliki kotak itu untuk dirinya sendiri. Perjalanan Lukman untuk mulai percaya pada keajaiban kembali menjadi rumit ketika seorang perempuan, Sofnila, tiba-tiba muncul dari kotaknya. Sofnila percaya bahwa ia adalah salah satu asisten Lukito, ayah Lukman, yang dulu pernah menghilang di kotak itu.Perjalanan selanjutnya membuat Lukman bertemu dengan beberapa penyihir teman lama ayahnya, dan ia mulai mengerti bahwa dia tidak pernah dilahirkan oleh siapa pun kecuali ayahnya yang menemukannya di dalam kotak itu. Datuk, seekor harimau Sumatera, juga terus-menerus muncul sepanjang perjalanannya. Apakah Lukman berhasil menemukan kembali anak laki-laki yang hilang dari kotak itu dan kembali percaya pada keajaiban?

*Sinopsis ini gue sadur langsung dari laman 21cineplex.

Ibarat pertunjukan sulap itu sendiri, sajian Abracadabra seperti penuh dengan intrik dan tipuan yang bisa luput diamati oleh mata orang awam. Abracadabra memang benar layaknya Wes Anderson dengan kearifan lokal. Gue benar-benar mengapresiasi tim production design dan juga costume design yang udah bersusah payah memvisualisasikan ide fantasi dari seorang Faozan Rizal. Belum lagi pemilihan latar setting yang turut membuat mata gue membelalak berbinar. Tjakep, tjoy!

Dan gue pun yakin kalau film ini juga menebar banyak simbolisme (juga mungkin analogi) di sepanjang durasi. Cuman balik lagi, otak gue yang terlanjur gak konek untuk mencoba mengerti dan memahami apa maksud yang ingin di sampaikan di dalamnya.

Mungkin memang akhirnya menikmati Abracadabra cukup dengan seperti menonton sulap: dibuat takjub dan terkesima tanpa perlu tau lebih dalam pada trik yang dilakukan sang pesulap dalam karyanya.

Posted in Movie

Underwater (2020) – eungap bosque!

Sekelompok peneliti terjebak di dasar laut dalam. Dalam usahanya kembali ke permukaan, mereka berjuang menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan dari sekedar gempa di dalam laut.

Mungkin begitulah sinopsis singkat tentang film Underwater. Awalnya gue males nonton sih tapi karena gak ada pilihan film baru, jadi yaudah deh.

Underwater terbilang cukup oke. Cukup ya. I mean, gue terlalu deja-vu dengan beberapa film bertema sejenis. Yeah, Underwater is a good choice one if you’re into those kind of stuffs (mystery, thrilling, creatures). Tapi bukan berarti Underwater jelek, kok.

Hanya selang beberapa menit dari monolog pembuka Norah (Kristen Stewart), penonton udah langsung dihajar dengan adegan bombastis yang sampe bikin gue tahan nafas. Dan setelahnya, penonton kemudian digiring ke arah kengerian ala Underwater. Jujur, gue sebagai pengidap claustrophobic (meski tidak akut), terhitung SANGAT TIDAK NYAMAN menonton Underwater. I mean it.

Gue gelisah sendiri sepanjang duduk di kursi dan terus berharap film segera berakhir. Oke gue tahu ini cuma film. Tapi entah kenapa gue bener-bener percaya kalau mereka sedang berada di dasar laut yang dalam. Kebayang gak sih, udah di dasar laut dalam, kejebak beberapa kali di tempat sempit, kondisi oksigen alakadarnya, mau keluar ke permukaan adaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aja hambatannya. Asli sih gue eungap!

Salah satu kegelisahan yang paling bikin gue tidak nyaman adalah ketika Norah memandang lautan luas dengan hanya ditampilkan plankton yang berkeliaran (bahkan jarak pandang lampunya tidak bisa menjangkau lebih dalam lagi). SUMPAH WOY INI REFLEK BIKIN GUE GELISAH SETENGAH MATI!

Hasil gambar untuk underwater 2020
This is so uncomfortable on many levels.

Ini yang akhirnya membuat gue sebagai penonton menganggap jika Underwater berhasil mengelabui penontonnya. Di luar perihal deja-vu yang sempet gue singgung di atas, toh Underwater emang gak jelek-jelek amat.

Emang sih ada hal yang bikin keingetan sama Alien. Emang sih latar bawah lautnya bikin keingetan sama The Abyss. Emang sih konsep unknown creature-nya bikin keingetan sama The Thing. Emang sih konsep survival-nya bikin keingetan sama Gravity walau beda latar. Sampai…. Kok induk monsternya sekilas mirip monster dalam Cloverfield (menurut gue), ya?

Well, aside its typical stuffs, Underwater masih tetap gue rekomendasikan untuk ditonton. Lumayan sih untuk bikin ngeri-ngeri sedap sambil sesekali sesek napas kalau gak nyaman dengan ruangan sempit.

Posted in Movie

Bombshell (2019) – ‘It’s getting hot in here’

Jadi, film pertama yang gue tonton di bioskop di tahun 2020 ini adalah…. Bombshell. Lumayan nungguin film ini dari Desember 2019 tapi ternyata penyangannya mundur, meski sempat ditayangkan midnight saat malam pergantian tahun.

Bombshell menceritakan tentang skandal petinggi Fox, Roger Ailes (John Litgow) yang diduga telah melecehkan banyak karyawan wanita. Kisah pun berpusat pada sosok Megyn Kelly (Charlize Theron) yang secara tidak langsung membantu mencari bukti pelecehan tersebut yang awalnya dilayangkan oleh Gretchen Carlson (Nicole Kidman). Sebagai bumbu dramatisasi, dihadirkan pula karakter fiksi Kayla Pospisil yang diperankan oleh Margot Robbie.

Secara keseluruhan, Bombshell bisa hadir memuaskan ekspektasi gue terhadap skandal ini. Well, gue gak ngikutin beritanya sama sekali sih pas dulu mencuat alias baru mencari tahu setelah menonton film ini. Inilah yang akhirnya membuat gue sedikit bertanya terkait beberapa kritik yang menyebutkan jika beberapa detail cerita dalam Bombshell tidak terlalu akurat.

Sebagai penonton, gue sih tetap bisa menikmati sajian dalam Bombshell. Menurut gue, Bombshell punya naskah yang kuat, ditambah dengan dialog-dialog tajam on point yang sesekali bikin gue menganga. Bombshell juga punya amunisi kuat dalam bentuk barisan pemain utamanya. Yes, I’m talking about on how great Charlize Theron, Nicole Kidman, and Margot Robbie are.

Salah satu adegan terbaik dalam Bombshell tentunya ada pada saat ketiga karakter utama tersebut akhirnya bertemu secara tidak sengaja di dalam lift.

Nicole Kidman, Charlize Theron, and Margot Robbie in Bombshell (2019)
“It’s getting hot in here.”

Disadari atau tidak, ketiga karakter utama Bombshell pun semuanya memiliki rambut pirang. Hal ini seolah menjadi penegas jika wanita pirang tidak selamanya memegang stigma ‘dumb blonde’ seperti yang kebanyakan orang anggap.

Kisah skandal dalam Bombshell dibawa dari sudut pandang wanita sebagai korban, tentunya ikut menambah rasa greget gue mengikuti intrik yang ada. Betapa terkadang pria merasa overpowered dengan kuasa, uang, bahkan jabatan yang mereka pegang hingga membuat mereka merasa bisa mempermainkan wanita dengan melecehkannya.

Wanita sebagai korban pun akhirnya dihadapkan pilihan seperti sosok Kayla: bungkam dan menyimpan ceritanya sendiri, atau memilih maju dan bersaksi meski harus membuka aibnya ke khalayak ramai. Poin penting ini yang harus digaris bawahi karena pada kenyataannya justru memang para korban yang lebih sering mendapat stigma negatif, sedangkan pelaku justru bisa melenggang bebas.

Ya, sekilas Bombshell memang akhirnya menjelma menjadi sebuah film bernafas feminis dengan beberapa isu yang turut diselipkan. Isu politik dan nepotisme misalnya lewat penggambaran Roger yang ternyata dekat dengan Donald Trump. We know who Trump is, right? Di sini gue akhirnya secara tidak langsung seolah ikut mengamini jika media memang sudah diragukan lagi kredibilitasnya karena bisa memuntir berita sedemikian rupa demi kepentingan politik dan segelintir orang yang punya kuasa.

Selipan isu LGBT juga ikut muncul lewat hadirnya karakter Jess (Kate McKinnon) yang digambarkan seorang lesbian. Ada ironi tambahan pula lewat karakter fiksi ini: Jess, seorang minoritas yang bekerja di kantor dengan pandangan politik berbeda. Life can be that complex somehow.

So, yeah, I guess Bombshell memang menjadi salah satu film penting terkait isu-isu yang masih sering menjadi polemik maupun pembahasan hangat di masyarakat sampai saat ini. We are need to be reminded indeed in terms of these issues. Gue sedikit menyayangkan saja karena Bombshell akhirnya dikemas dalam durasi yang anehnya tidak mencapai angka dua jam sama sekali (1hr 49min to be exact).

Last but not least, apakah nantinya ada produser yang berani mengangkat kisah skandal Harvey Weinstein ke layar lebar? Kita tunggu saja.

Posted in Movie

Quick Recap 2019: Disappointed, as for me

Hello!

Well, it’s been awhile I didn’t post any feeds to this blog due to some stuffs and issues I’ve been dealing with. Eh tapi bentar deh. Blog ini beneran ada yang baca atau enggak, ya? Takutnya gue halu sendiri hahaha. Yaudahlahya whatever ~

Berhubung udah di bulan Desember, gue mau quick recap aja tentang beberapa film yang sudah gue tonton di sepanjang tahun 2019 ini. Tapi tulisan ini belum bisa dibilang mutlak beres juga sih, karena masih ada beberapa film lagi yang belum gue tonton berhubung belum rilis. Sebut saja Star Wars Episode IX – The Rise of Skywalker, Cats, 1917, dan Bombshell.

Oke. Balik lagi ke daftar film yang sudah gue tonton di bioskop sepanjang tahun 2019. Antara lain….

Capture.PNG

Total (baru) 89 judul dengan akumulasi 94 kali ke bioskop sejauh ini. Berhubung nonton ke bioskop itu pakai duit, wajar dong kalau gue akhirnya membuat tulisan sesuai judul postingan ini: mengecewakan.

Harap diingat juga ya jika film yang disebut dalam daftar ini murni berdasarkan selera gue pribadi. Jadi kalau ada film yang menurut kalian bagus tapi ada dalam daftar, atau sebaliknya ada film yang bikin kalian kecewa tapi tidak gue masukkan, ya harap maklum aja. Selera tiap orang kan beda-beda, ya ‘gak?

Let’s start with……

  • Dreadout

Dreadout memiliki naskah yang berantakan dan dieksekusi dengan sedikit terburu-buru. Padahal film ini tentunya potensial mengingat diangkat dari video game buatan anak bangsa. Tapi ini yang menjadi bumerang bagi penonton yang tidak memainkan permainannya karena tidak ada penjelasan lebih tentang apa yang dialami para karakter di dalamnya. Entah deh bakal ada lanjutannya atau tidak mengingat ending film ini sedikit menggantung, selain menyisakan beberapa pertanyaan juga.

  • Escape Room

Hal paling receh dari Escape Room adalah prolog awal film yang secara tidak langsung malah spoiler tentang nasib salah satu karakternya. Lalu, filmnya juga nanggung antara mau dibikin sadis tapi ingin mempertahankan rating PG-13. Pfft. Yah setidaknya tim production design layak diapresiasi mengingat ruangan-ruangan yang ditampilkan sangat meyakinkan.

  • Alita: Battle Angel

Ekspektasi: Wah, naskahnya ditulis James Cameron. Filmnya disutradarai Robert Rodriguez. Jajaran pemainnya diisi Christoph Waltz, Jennifer Connelly, dan Mahershala Ali. This is promising!

Realita: Penuturan ceritanya membingungkan dan kurang terfokus (dari dunia post-apocalyptic, pertarungan antar cyborg, sempilan romansa antara Alita dan Hugo, hingga Nova sang penjahat utama yang identitasnya masih misteri). Nama-nama besar pemainnya pun tidak memberikan kesan berarti. Visual efeknya memang oke, tapi secara keseluruhan masih kurang memorable.

  • Dumbo

Again, nama besar terkadang tidak selamanya bisa diandalkan. Film ini contohnya. Kirain nama Tim Burton yang pernah sukses menggarap Alice In Wonderland juga bisa membawa live-action Dumbo dengan kece. Ternyata, yagitudeh. Sosok Dumbo yang notabene tokoh sentral seolah menjadi karakter minor diantara para manusia.

  • UglyDolls

Mendengar genre musikal tentunya bikin gue semangat nonton, dong! Apalagi UglyDolls didominasi penyanyi papan atas mulai dari Kelly Clarkson, Nick Jonas, Janelle Monáe, Blake Shelton, Pitbull, Bebe Rexha, Charli XCX, sampai Lizzo. Mungkin bermaksud menarik penggemar mereka untuk menonton, atau agar hasil musikalnya lebih maksimal. Yet UglyDolls feels like trying to copy Trolls that hard but failed.

  • Si Doel The Movie 2

Males nonton sih, tapi ibu negara minta nonton ini. Yaudah disaat sebagian orang sibuk takbiran, gue melipir ke bioskop bersama beliau. Konfliknya masih seputar cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab yang kaga kelar-kelar, bahkan masih dibikin bersambung untuk menjadi trilogi (?) Setidaknya Mandra cukup menghibur dan menjadi nyawa tersendiri di film ini.

  • Men In Black: International

Beres nonton ini macam ‘ditembak’ neuralyzer. Gue beneran lupa (dan gagal paham) dengan inti utama film ini. Eh ada deh yang gue inget, inside jokes ketika Chris Hemsworth ingin mengambil palu dengan gerakan yang dia lakukan saat menjadi Thor. Singkatnya, MIB: International adalah semacam wujud nyata tentang dua jam yang sia-sia duduk di dalam bioskop.

  • Annabelle Comes Home

To be honest, gue maksain nonton ini demi bisa nonton bareng Tinder match (yang sekarang entah kemana #curcol). Premisnya klise banget dan berulang: satu karakter tidak percaya hal gaib, menantangnya dan bersikap ceroboh padahal sudah diingatkan, lalu diteror bertubi-tubi, kemudian diselamatkan. Hadeh!

  • The Hustle

Another gagal paham movie. Untung aja scoring-nya kece. Dengerin deh di sini.

  • Bridezilla

Belain nonton karena sutradaranya Andibachtiar Yusuf, sosok dibalik Love for Sale. Ternyata filmnya kacau dan gue cuma bisa geleng-geleng kepala sepanjang nonton. Komedinya garing, eksekusi naskahnya datar.

  • Sadako

Macam di nina bobo-in deh pas nonton film ini, ciyus. Alurnya lambaaaaaaaaaaaat dan gue bolak balik nguap berharap film cepet selesai.

  • Warkop DKI Reborn

Kasusnya sama dengan Si Doel. Gak minat sama sekali tapi ibu negara minta nonton. Yaudah berangkat. Lucu enggak, garing iya. Ibu negara pun mengamini. Sok-sokan dibikin bersambung pula macam yang sudah-sudah. Hadeh.

 

Ada yang setuju? Gak setuju juga gak apa-apa, kok. Chill. Inget, selera tiap orang berbeda 😉